Memahami Etnografi dan Contoh Etnografi Menurut Para Ahli
Daftar Isi
Kata etnografi, berasal dari bahasa Yunani, berarti sebuah deskripsi mengenai orang- orang atau, secara harfiah, “penulisan budaya”. Dalam perspektif keilmuan, tipe penelitian etnografi menurut Ember dan Ember (1990) mengemukakan bahwa etnografi adalah salah satu tipe penelitian antropologi budaya. Ethnos (bangsa) berarti orang atau folk, sementara Graphein (menguraikan) mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena itu etnografi merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas tertentu. Etnografi adalah usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspekdari budaya.
image source: |
baca juga: Konsep Suku Bangsa Dan Kebudayaan Masyarakat Indonesia
Secara lebih khusus, etnografi berusaha memahami tingkah laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau aspek budaya melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan manusia lain. Frey dan kawan-kawan berpendapat etnografi digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Etnografer berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang yang diteliti, cara orang menggunakan simbol dalam konteks spesifik. Etnografi sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti. Budaya merupakan konsep sentral dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah kesatuan. Entitas budaya adalah sistem yang digunakan bersama oleh komunitas. Para anggota budaya ini mempelajari unsur-unsur dan konfigurasinya melalui interaksi, serta dengan cara hidup dalam budaya lain.
Etnografi yang akarnya antropologi pada dsarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari (Symon dan Cassell, 1998). Ini berarti, sebagai sebuah disiplin riset, etnografi didasarkan pada kultur konsep yang tersusun menggunakan kombinasi teknik-teknik pengamatan, wawancara,dan analisis dokumen, untuk merekam komunikasi dan perilaku orang-orangdalam latar sosial tertentu.
Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yaknisemua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman,kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Etnografi menjadi sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam tradisi kajianantropologi klasik, etnografi menjadi “jembatan” antara pemikiran teoritis dan realitas kehidupan sehari-hari tangkapan sang antropolog. Tradisi semacam inimeletakkan etnografi sebagai sebuah realitas tulis yang berada di luar realitassubyektif penulis dan realitas obyektif yang dituliskan. Intinya, etnografi adalah sebuah cara metode untuk menangkap cara pandang komunitas terhadap hidup secara menyeluruh (holistik) dan apa adanya.
Azas-azas Pokok Teori Etnografi Klasik
Etnografi merupakan suatu kebudayaan suatu suku bangsa. Namun karena didunia ini ada suku-suku bangsa yang kecil yang terdiri dari hanya beberapa ratus penduduk tetapi juga ada suku-suku bangsa yang besar yang terdiri dari berjuta-juta penduduk, maka sebuah etnografi sudah tentu tidak dapat mencakup keseluruhan dari suku bangsa yang besar. Kesatuan kebudayaan suku bangsa di suatu komunitas dari suatu daerah geografi ekologi atau di suatu wilayah administratif tertentu menjadi pokok sebuah etnografi., biasanya dibagi ke dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal:, yaitu:
Dari tujuh unsur yang bersifat universal tersebut, kemudian mendeskripsikan etnografi yang disusun berdasarkan suatu kerangka etnogrfi, yang terdiri dari bab-bab yang terbagi ke dalam sub-sub bab khusus, yaitu:
1. Nama suku bangsa.
Nama yang menjadi sebutan bagi suatu suku bangsa dalam suatu deskripsi etnografi seringkali menimbulkan masalah, karena suku bangsa yang bersangkutan itu sendiri tak jarang menggunakan nama yang berbeda.
2. Lokasi, lingkungan alam dan demografi.
Lokasi atau tempat tinggal dan penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri geografinya, yaitu iklim (tropikal, mediteran, iklim sedang, iklim kutub, sifat daerahnya, pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, jenis kepulauan, daerah rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun dan sebagainya. Suatu etnografi juga harus dilengkapi data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, data mengenai laju kelahiran dan laju kematian, serta data orang yang pindah keluar-masuk desa.
3. Asal mula dan sejarah bangsa.
Asal mula suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus di cari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan did daerah sekitar lokasi penelitian.
4. Bahasa.
Bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, dalam sebuah etnografi, memberi ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan., beserta variasi-variasi dari bahasa tersebut.Ciri-ciri menonjol dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yaitu dengan menempatkan setepat-tepatnya dalam rangka klasifikasi baasa-bahasa sedunia.
5. Sistem teknologi.
Teknologi atau cara-cara memproduksi, memakai dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa dalam etnografi, cukup membatasi diri terhadap teknologi yang tradisional, yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan “barat”.
6. Sistem mata pencaharian.
Berbagai macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Sistem tersebut adalah: Berburu dan meramu; Beternak; Bercocok tanam di ladang; Menangkap ikan; dan Bercocok tanam menetap dengan irigasi.
7. Organisasi sosial.
Dalam tiap masyarakat kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kaum kerabat yang lain.
8. Sistem pengetahuan.
Dalam suatu etnografi mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa meliputi pengetahuan mengenai teknologi yang mencakup: 1. Alam sekitarnya; 2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya; 3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya; 4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam linkungannya; 5. Tubuh manusia; 6. Sifat-sifat dan tingkah laku manusia; 7. Ruang dan waktu.
9. Kesenian.
Kesenian dalam etnografi memuat tentang benda-benda hasil seni, seni rupa, seni patung, seni ukir, atau seni hias, pada benda alat-alat sehari-hari. Kecuali benda hasil seni rupa, lapangan kesenian lain yang juga sering mendapat tempat dalam sebuah etnografi adalah seni musik, seni tari dan drama.
10. Agama dan sistem religi.
Religi telah menjadi pokok penting etnografi mengenai suku bangsa. Ada dua hal yang menjadi perhatian,yaitu: 1. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir; 2. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi. Sistem religi mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (i). Sistem keyakinan; (ii). Sistem upacara keagamaan; (iii). Suatu umat yang menganut religi tersebut.
Etnografi di Indonesia
Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografi-etnografi yang lahir dari tangan ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut. Secara umum etnografi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Etnografi Awam
Etnografi yang akarnya antropologi pada dsarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari (Symon dan Cassell, 1998). Ini berarti, sebagai sebuah disiplin riset, etnografi didasarkan pada kultur konsep yang tersusun menggunakan kombinasi teknik-teknik pengamatan, wawancara,dan analisis dokumen, untuk merekam komunikasi dan perilaku orang-orangdalam latar sosial tertentu.
Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yaknisemua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman,kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Etnografi menjadi sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam tradisi kajianantropologi klasik, etnografi menjadi “jembatan” antara pemikiran teoritis dan realitas kehidupan sehari-hari tangkapan sang antropolog. Tradisi semacam inimeletakkan etnografi sebagai sebuah realitas tulis yang berada di luar realitassubyektif penulis dan realitas obyektif yang dituliskan. Intinya, etnografi adalah sebuah cara metode untuk menangkap cara pandang komunitas terhadap hidup secara menyeluruh (holistik) dan apa adanya.
Azas-azas Pokok Teori Etnografi Klasik
Etnografi merupakan suatu kebudayaan suatu suku bangsa. Namun karena didunia ini ada suku-suku bangsa yang kecil yang terdiri dari hanya beberapa ratus penduduk tetapi juga ada suku-suku bangsa yang besar yang terdiri dari berjuta-juta penduduk, maka sebuah etnografi sudah tentu tidak dapat mencakup keseluruhan dari suku bangsa yang besar. Kesatuan kebudayaan suku bangsa di suatu komunitas dari suatu daerah geografi ekologi atau di suatu wilayah administratif tertentu menjadi pokok sebuah etnografi., biasanya dibagi ke dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal:, yaitu:
- Bahasa,
- Sistem teknologi,
- Sistem ekonomi,
- Organisasi sosial,
- Sistem pengetahuan,
- Kesenian,
- Sistem religi.
Dari tujuh unsur yang bersifat universal tersebut, kemudian mendeskripsikan etnografi yang disusun berdasarkan suatu kerangka etnogrfi, yang terdiri dari bab-bab yang terbagi ke dalam sub-sub bab khusus, yaitu:
1. Nama suku bangsa.
Nama yang menjadi sebutan bagi suatu suku bangsa dalam suatu deskripsi etnografi seringkali menimbulkan masalah, karena suku bangsa yang bersangkutan itu sendiri tak jarang menggunakan nama yang berbeda.
2. Lokasi, lingkungan alam dan demografi.
Lokasi atau tempat tinggal dan penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri geografinya, yaitu iklim (tropikal, mediteran, iklim sedang, iklim kutub, sifat daerahnya, pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, jenis kepulauan, daerah rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun dan sebagainya. Suatu etnografi juga harus dilengkapi data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, data mengenai laju kelahiran dan laju kematian, serta data orang yang pindah keluar-masuk desa.
3. Asal mula dan sejarah bangsa.
Asal mula suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus di cari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan did daerah sekitar lokasi penelitian.
4. Bahasa.
Bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, dalam sebuah etnografi, memberi ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan., beserta variasi-variasi dari bahasa tersebut.Ciri-ciri menonjol dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yaitu dengan menempatkan setepat-tepatnya dalam rangka klasifikasi baasa-bahasa sedunia.
5. Sistem teknologi.
Teknologi atau cara-cara memproduksi, memakai dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa dalam etnografi, cukup membatasi diri terhadap teknologi yang tradisional, yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan “barat”.
6. Sistem mata pencaharian.
Berbagai macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Sistem tersebut adalah: Berburu dan meramu; Beternak; Bercocok tanam di ladang; Menangkap ikan; dan Bercocok tanam menetap dengan irigasi.
7. Organisasi sosial.
Dalam tiap masyarakat kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kaum kerabat yang lain.
8. Sistem pengetahuan.
Dalam suatu etnografi mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa meliputi pengetahuan mengenai teknologi yang mencakup: 1. Alam sekitarnya; 2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya; 3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya; 4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam linkungannya; 5. Tubuh manusia; 6. Sifat-sifat dan tingkah laku manusia; 7. Ruang dan waktu.
9. Kesenian.
Kesenian dalam etnografi memuat tentang benda-benda hasil seni, seni rupa, seni patung, seni ukir, atau seni hias, pada benda alat-alat sehari-hari. Kecuali benda hasil seni rupa, lapangan kesenian lain yang juga sering mendapat tempat dalam sebuah etnografi adalah seni musik, seni tari dan drama.
10. Agama dan sistem religi.
Religi telah menjadi pokok penting etnografi mengenai suku bangsa. Ada dua hal yang menjadi perhatian,yaitu: 1. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir; 2. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi. Sistem religi mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (i). Sistem keyakinan; (ii). Sistem upacara keagamaan; (iii). Suatu umat yang menganut religi tersebut.
Etnografi di Indonesia
Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografi-etnografi yang lahir dari tangan ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut. Secara umum etnografi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Etnografi Awam
Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh para ahli antropologi, namun mempunyai beberapa ciri yang tidak jauh berbeda dengan berbagai etnografi dari para ahli antropologi. Kebanyakan tulisan semacam ini berasal dari para wartawan, yang biasanya memang lebih banyak pengalaman lapangannya (bukan pengalaman penelitiannya) daripada ahli antropologi, serta banyak dimuat di berbagai surat kabar dan majalah-majalah populer. Etnografi Awam semacam ini juga banyak memuat informasi yang sering kita temukan dalam Etnografi Antropologis , namun dia berbeda dengan yang ke dua terutama dalam soal penggunaan konsep-konsep antropologis. Dalam Etnografi Awam konsep-konsep antropologis ataupun analitis yang biasa ditemui dalam Etnografi Antropologis jarang tampak atau kalaupun ada konsep tersebut seringkali tidak sangat jelas maknanya. Ciri lain dari Etnografi Awam adalah deskripsinya yang datar. Artinya di situ umumnya tidak terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari si penulis mengenai apa yang ditulisnya. Tujuan penulisan biasanya adalah benar-benar sekedar menyampaikan berita. Tidak ada maksud untuk menjelaskan fenomena yang ditulis. Oleh karena itu, judul-judul etnografi semacam ini biasanya dibuat "menarik perhatian" dengan menggunakan kata-kata yang tidak biasa, yang dianggap akan lebih membangkitkan minat pembaca untuk mengetahui isi tulisan tersebut lebih lanjut, bukan hanya membaca judulnya saja.
b. Etnografi Laci
Predikat ini dapat diberikan pada berbagai tulisan para ahli antropologi yang terdapat dalam buku-buku yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya "Kebudayaan Jawa” oleh Kodiran, "Kebudayaan Bugis-Makassar" oleh Mattulada, "Kebudayaan Batak" oleh Payung Bangun, dan sebagainya, yang terdapat dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Juga berbagai tulisan ilmuwan Indonesia yang ada dalam Masyarakat Desa di Indonesia, seperti misalnya artikel dari Budisantosa tentang masyarakat desa Celepar, tulisan Harsya W. Bachtiar tentang masyarakat desa di Sumatera Barat, dan berbagai tulisan lain dalam Penduduk Irian Barat, serta tulisan para ahli antropologi dari generasi yang lebih muda yang dimuat dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Berbagai tulisan dalam buku ini sebagian besar memang "hanya" berisi pelukisan tentang apa yang dimaksud sebagai "kebudayaan" dari suku-suku bangsa yang ditulis di situ.
Etnografi Laci semacam ini berbeda dengan etnografi Awam terutama dalam susunan dan retorikanya. Etnografi Laci pada umumnya sudah lebih sistematis, dalam arti uraian mengenai masyarakat atau kebudayaan diberikan dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan. Umumnya urutan ini didasarkan pada pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang universal, seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, kesenian, agama dan sebagainya. Judul-judul unsur kebudayaan ini menjadi semacam laci tempat si penulis memasukkan berbagai informasi etnografi yang didapatnya dari pengalamannya di lapangan. Tulisan-tulisan tentang kebudayaan suku-sukubangsa di Indonesia dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta Kebudayaan Jawa, yang diedit dan ditulis oleh Koentjaraningrat sangat jelas menunjukkan ciri ini.
Etnografi Laci umumnya sudah lebih “ilmiah” atau “antropologis”. Artinya, dalam etnografi semacam ini kita akan menemukan banyak konsep-konsep analitis yang penting dalam antropologi, yang tidak kita temui dalam Etnografi Awam; sesuatu yang memang dituntut oleh tulisan-tulisan yang diinginkan bersifat “ilmiah” dan ditujukan pada publik yang lebih terbatas, yakni mereka yang ingin mengetahui, memahami dan dapat menjelaskan fenomena sosial budaya, serta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Dalam Etnografi Laci ini akan sering kita temui pendefinisian beberapa konsep yang dipandang penting, dengan maksud untuk mencegah simpang-siurnya pendapat yang tidak perlu antara penulis dengan pembaca.
c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena sosial-budaya tertentu, entah itu fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial, agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang membedakan Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang dimilikinya. Buku Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku Sairin (1982) memberikan perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya; buku Triyoga (1991) memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih memperhatikan adaptasi ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di kawasan Sulawesi Selatan, terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang mengulas tradisi dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda dengan penulis Etnografi Laci, yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih menempatkan dirinya sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang ditelitinya, seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita temukan dialog-dialog antara peneliti dengan informan. Oleh karena analisis ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang tampil dalam etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan wawancara dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat oleh penulis etnografi dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau ditampilkan masih dalam kerangka untuk mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah permasalahan tertentu, yang kemudian dicari jawabnya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang dikemukakan, sehingga Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis, teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data etnografi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk menampilkan keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut pula adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang lebih eksplisit. Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir datanya sedemikian rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka teori di situ berarti pula hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit. Kalau Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif, Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif , karena ditujukan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang sudah ada. Untuk menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan kritik terhadap pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat menempatkan pandangannya dalam konteks tertentu, yang sekaligus juga menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi Analitis, sesuai dengan cirinya, juga dimaksudkan untuk melontarkan pandangan-pandangan baru, bukan hanya yang informatif, tetapi juga yang eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan). Dengan adanya masalah yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada jawaban atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut menentukan “nilai ilmiah” etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas cakrawala pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang membantah berbagai pendapat yang sebelumnya telah ada. Etnografi Analitis yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patron-klien di Sulawesi Selatan dari Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-etnografi dari Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo (1985). Etnografi Analitis –sadar atau tidak—ditujukan terutama untuk membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang teratur, sistematis, dan logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak antropologis”; Etnografi Laci berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka teori dan konsep-konsepnya, sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-masing ahli antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan kerangka teori yang berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri Sairin berangkat dari kerangka berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda dengan Ahimsa-Putra yang juga menggunakan kerangka pemikiran fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih memperhatikan fungsi sosial organisasi kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan hubungan fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud untuk melakukan suatu rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai “Kebudayaan Sukubangsa Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai “pencipta kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih tampak sebagai analyst atau interpreter, yang mencoba “memahami” suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan etnografi di Indonesia menjadi lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di Indonesia serta perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Daftar Pustaka
c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena sosial-budaya tertentu, entah itu fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial, agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang membedakan Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang dimilikinya. Buku Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku Sairin (1982) memberikan perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya; buku Triyoga (1991) memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih memperhatikan adaptasi ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di kawasan Sulawesi Selatan, terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang mengulas tradisi dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda dengan penulis Etnografi Laci, yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih menempatkan dirinya sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang ditelitinya, seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita temukan dialog-dialog antara peneliti dengan informan. Oleh karena analisis ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang tampil dalam etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan wawancara dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat oleh penulis etnografi dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau ditampilkan masih dalam kerangka untuk mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah permasalahan tertentu, yang kemudian dicari jawabnya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang dikemukakan, sehingga Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis, teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data etnografi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk menampilkan keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut pula adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang lebih eksplisit. Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir datanya sedemikian rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka teori di situ berarti pula hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit. Kalau Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif, Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif , karena ditujukan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang sudah ada. Untuk menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan kritik terhadap pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat menempatkan pandangannya dalam konteks tertentu, yang sekaligus juga menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi Analitis, sesuai dengan cirinya, juga dimaksudkan untuk melontarkan pandangan-pandangan baru, bukan hanya yang informatif, tetapi juga yang eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan). Dengan adanya masalah yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada jawaban atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut menentukan “nilai ilmiah” etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas cakrawala pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang membantah berbagai pendapat yang sebelumnya telah ada. Etnografi Analitis yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patron-klien di Sulawesi Selatan dari Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-etnografi dari Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo (1985). Etnografi Analitis –sadar atau tidak—ditujukan terutama untuk membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang teratur, sistematis, dan logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak antropologis”; Etnografi Laci berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka teori dan konsep-konsepnya, sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-masing ahli antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan kerangka teori yang berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri Sairin berangkat dari kerangka berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda dengan Ahimsa-Putra yang juga menggunakan kerangka pemikiran fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih memperhatikan fungsi sosial organisasi kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan hubungan fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud untuk melakukan suatu rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai “Kebudayaan Sukubangsa Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai “pencipta kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih tampak sebagai analyst atau interpreter, yang mencoba “memahami” suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan etnografi di Indonesia menjadi lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di Indonesia serta perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Daftar Pustaka
- Bereman, G. D., 1968, Etnography : Method and Products Introduction to Cultural Antropology, J.A. Clitun, editor. Buston, Hungton Miflin Company, hlm. 337-373
- Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta
Sekian artikel tentang Memahami Etnografi dan Contoh Etnografi Menurut Para Ahli.
Posting Komentar